First Love


"Cha. Acha.." Subuh hari itu, menjadi panggilan terkeras dan terakhir Abi, setelah hampir 2 minggu Abi fight melawan Covid-19.  Hm. ternyata Bi, perjumpaan kita, berhenti di sepuluh hari terakhir sebelum Abi lahir. Ngga ada satupun dari kita yang menyangka. Satu kalimat yang seringkali terbersit kalau sedang termenung "terlalu cepat". Ah, tapi kita bisa apa. Bisa berharap, semoga bisa berjumpa kembali di Arsy-Nya.

Ada jutaan rasa yang menggebu-gebu, ketika anak kehilangan ayahnya, istri kehilangan suaminya dan ibu yang kehilangan anak lelaki satu-satunya. Masing-masing mengekspresikan rasa yang berbeda. Tapi kali ini, saya akan sedikit berbagi, dari sudut pandang seorang anak yang berkesempatan mendampingi cinta pertamanya hingga helaan nafas terakhir. 

Berbicara tentang rasa, menjadi penikmat pertama Covid-19, hingga berlanjut ke sanak keluarga yang lain, sudah timbul perasaan bersalah. Walaupun, kalau mengingat-ingat ilmu dan nasihat para guru, terjangkit Covid-19 di luar kuasa manusia. Hm yah, tapi.. perasaan itu timbul begitu saja. 

Menjejaki hari pertama, kedua dan seterusnya, perlahan anggota keluarga yang lain mulai membaik. Namun, sosok pria yang pertama kali mengadzankan putrinya, masih setia berbaring lemas. Sejak itu, sabuk pengaman dikencangkan. Mulailah ia belajar kembali, mengenai cinta, kerinduan, keluarga, pengorbanan, kenikmatan, penyesalan, syukur dan ikhlas. Bahkan, mungkin saja masih banyak pelajaran lain yang tanpa sadar, ia resapi dalam perjalanan itu. 

Mungkin ia beruntung, mungkin juga buntung. Bukan. Bukan hanya dirinya yang harus menerima perihnya melihat sang ayah tertolak beberapa rumah sakit. Ada puluhan, bahkan mungkin lebih dari itu, anak-anak lain yang merasakan perih yang sama. Sempat terfikir untuk memutuskan perawatan di rumah, dengan kemampuan medis yang super duper minim. Namun teringat pesan seorang guru, untuk terus berusaha dan menyerahkan pada ahlinya. Ia sadar, bahwa memutuskan yang demikian, bukan pilihan yang bijak. Hanya mereka yang ahli, yang lebih mengetahui tindakan tepat menanganinya.

Alhamdulillah. Setelah sekian kali kalimat "Maaf, sudah penuh" terdengar, ada satu tempat yang berhasil disambangi. Walaupun ia tahu. Ia tahu, situasi dan kondisi tentunya tidak akan berjalan semulus itu di sana. Kecuali pikirnya, hanya dengan kekuatan ikatan kepada Rabbnya, ketidakmungkinan bisa berubah menjadi mungkin. Ya, pikirnya hanya itu. 

Dua hari satu malam menjadi list best moment dengan sang ayah. Tak banyak kata yang terucap kala itu. Namun, melalui tindakannya, ia berharap semoga maaf dan terimakasih dapat tulus cintanya rasakan.

Terakhir, ada dua pesan yang terucap dari ibu tunggal, pasca sang pujangga hati bersemayam di bawah batu nisan malam itu, "tidak boleh ada pengandaian dan perasaan salah-menyalahi setelah ini".

27/07/21 // FIRST LOVE // AM //

No comments:

Powered by Blogger.